Jumat, 28 Oktober 2011

Tugas KMB 1 LP+Askep TBC


LAPORAN PENDAHULUAN

TB Paru

Konsep Dasar Tuberkulosis Paru
Konsep dasar TB Paru yang akan diuraikan berikut yaitu pengertian, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan dan komplikasi.
1. Pengertian
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh mikobakterium Tuberkulosis (Silvia, 2006).
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang dapat mengenai paru –paru manusia (Aditama, 1994).
Tuberkulosis paru merupakan peradangan atau infeksi jaringan paru oleh mikobakterium tuberkulosa (Rumahorbo,2000).
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru (Smeltzer, 2002).
Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobakterium tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi (Mansjoer, dkk, 2001).
Berdasarkan pengertian diatas dapatlah disimpulkan bahwa penyakit tuberkulosis paru (TB Paru) adalah penyakit infeksi pernafasan, menular yang menyerang parengkim paru yang disebabkan oleh kuman yaitu mycobacterium tuberculosis.
1. Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh kuman yaitu mycobacterium tuberculosis. Kuman ini berbentuk batang dan tahan asam, serta banyak mengandung lemak yang tinggi pada membran selnya sehingga menyebabkan kuman ini tahan asam dan pertumbuhannya sangat lambat, kuman ini tidak tahan terhadap sinar ultraviolet karena itu penularannya terutama terjadi pada malam hari. Ukuran dari kuman tuberkulosiss ini kurang lebih 0,3 x 2 sampai 4 mm, ukuran ini lebih kecil dari pada ukuran sel darah merah (Sumantri, 2008).
1. Patofisiologi
Penularan TB Paru terjadi karena kuman mycobacterium tuberculosis. dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadidroplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat hidup dalam udara bebas selama kurang lebih 1-2 jam, tergantung pada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari– hari sampai berbulan–bulan. Bila partikel ini terhisap oleh orang sehat maka ia akan menempel pada jalan nafas atau paru–paru.
Partikel dapat masuk ke dalam alveolar, bila ukuran vartikel kurang dari 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi terlebih dulu oleh neutropil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan dibersihkan oleh makrofag keluar dari cabang trakea bronkhial bersama gerakan sillia dengan sekretnya. Bila kuman menetap di jaringan paru maka ia akan tumbuh dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya.
Kuman yang bersarang ke jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau efek primer atau sarang ghon (fokus). Sarang primer ini dapat terjadi pada semua jaringan paru, bila menjalar sampai ke pleura maka terjadi efusi pleura. Kuman dapat juga masuk ke dalam saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit. Kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar keseluruh organ, seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke dalam arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran keseluruh bagian paru dan menjadi TB milier.
Sarang primer akan timbul peradangan getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan diikuti pembesaran getah bening hilus (limfangitis regional). Sarang primer limfangitis lokal serta regional menghasilkan komplek primer (range). Proses sarang paru ini memakan waktu 3–8 minggu. Berikut ini menjelaskan skema tentang perjalanan penyakit TB Paru hingga terbentuknya tuberkel ghon.
Skema 2.1. Patofisiologi penyakit TB Paru

Basil Tuberculosis



Terhirup individu yang rentan



Alveoli
(tempat basil berkumpul dan mempertahankan diri)



Sistem imun tubuh berakhir



Proses Inflamasi Tebentuk tuberkel Ghon








- Demam Mengalami nekrotik
- Tidak ada nafsu makan
- Berkeringat
- Batuk berdahak Mengalami kolafiksi



Tuberkel Ghon memecah



Penyebaran kuman Batuk darah
Sumber: Lewish, America Thoraric Society (2000)
1. Tanda dan Gejala
Tanda – tanda klinis dari penderita tuberkulosis paru sangat beragam tergantung pada kondisi tubuh penderita, akan tetapi gejala klinis yang paling sering ditemui pada penderita antara lain (Smeltzer & Bare, 2002 ) :
1. Batuk/Batuk darah
Pada penderita biasanya tampak batuk yang lama, batuk dapat mengakibatkan iritasi pada saluran pernafasan, akan tetapi batuk juga berfungsi mengeluarkan produk radang keluar seperti dahak.
1. Demam
Sering terjadi demam pada kondisi tertentu malahan kadang kadang terjadi peningkatan suhu tubuh biasa mencapai 39 – 40 ˚C, karena kondisi ini terpengaruh akan daya tahan tubuh terhadap infeksi kuman tuberkulosis.
1. Sesak nafas
Biasa terjadi jika kondisi penyakit sudah pada tahap yang kronis, dimana telah terjadi komplikasi pada paru–paru seperti terjadi efusi pleura, pneumothorak dan abses paru.
1. Nyeri dada
Gejala ini jarang terjadi, ini akibat terjadi infiltrasi radang yang sudah mencapai pleura sehingga menimbulkan pleuritis atau radang pleura. Tampak inspirasi dan ekspirasi yang tidak normal.
1. Malaise
Gejala sering ditemukan berupa tidak nafsu makan (anoreksia), berat badan turun secara drastis, pusing, nyeri otot dan lain sebagainya.
1. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Soeparman (1994), ada beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pemeriksaan TB Paru, sebagai berikut:
1. Radiologi
Pada hasil foto toraks posterior anterior (PA), lateral terlihat gambaran infiltrat atau nodular terutama pada lapangan atas paru, terlihat kavitas, serta tuberkuloma atau tampak seperti bayangan atau coin lesion. Pada TB primer tampak gambaran radiologi berupa infiltrat pada paru-paru unilateral yang disertai pembesaran kelenjar limfe di bagian infiltrat berada.
1. Mikrobiologi
Pemeriksaan sputum sebanyak 3 kali setiap hari, berdasarkan pemeriksaan pada basil tahan asam (BTA) guna memastikan hasil diagnosis. Akan tetapi hanya 30% – 70% saja yang dapat didiagnosis dengan pemeriksaan ini karena diduga tidak terlalu sensitif.
1. Biopsi jaringan
Dilakukan terutama pada penderita TB kelenjar leher dan bagian lainnya, dimana dari hasil terdapat gambaran perkejuan dengan sel langerhan akan tetapi bukanlah merupakan diagnosis positif dari tuberkulosis oleh karena dasar dari diagnosis yang positif adalah ditemukannya kuman mycobacterium tuberkulosa.
1. Bronkoskopi
Hasil dari biopsi pleura dapat memperlihatkan suatu gambaran dan dapat digunakan untuk bahan pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA).
1. Tes tuberkulosis
Tes mantouk diberikan dengan menyuntikan 0,1 cc Derivat Protein Murni (PPD) secara intra muskuler (IM), kemudian dapat terlihat dalam 48 – 72 jam setelah dites, dikatakan positif bila diameter durasi lebih besar dari 10 mm. Gambar berikut ini merupakan gambaran pemeriksaan tes mantouk.
Gambar 2.4. Pemeriksaan tes mantouk Reaksi terhadap tes mantoux..
(A) penampilan reaksi
(B) Area reaksi diukur untuk menentukan keluasan reaksi.
Sumber: Smeltzer. Keperawatan medical bedah (2002)
1. Tes Peroksida Anti Peroksidase (PAP)
Merupakan uji serologi imunoperoksidase mengunakan alat histogen imunoperoksidase skrining untuk menentukan IgG sepesifik terhadap basil tuberkulosis paru.
1. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan TB Paru terdiri dari pengobatan dan pencegahan penularan, yaitu :
1. Pengobatan
Pengobatan penderita tuberkulosis paru dengan penggunan obat anti mikroba dalam jangka waktu tertentu, dapat ditekankan pada 3 aspek, antara lain (Mansjoer, dkk, 2001):
1). Regimen harus termasuk obat spektrum luas yang sensitif terhadap mikoorganisme.
2). Minum obat secara teratur
3). Pengobatan harus dilakukan secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang cukup guna menghasilkan efek pengobatan yang efektif serta aman.
Beberapa cara ( regimen ) pengobatan yang dianjurkan, antara lain (Tabrani, 1996):
1) Alternatif pertama:
a) Isoniazid (INH) 300 mg
b) Rifampisin (Rif) 600 mg
c) Pirazinamide 25 -30 mg/kg BB, diberikan selama 2 bulan berturut – turut dan dilanjutkan INH 300 mg dan Rifampisin 600 mg selama 4 bulan.
2) Alternatif kedua
a) INH 300 mg
b) Rif 600 mg, diberikan selama 9 bulan.
3) Alternatif ke tiga
a) INH 900 mg
b) Rif 600 mg, diberikan sebulan dan dilanjutkan dengan 2 kali seminggu selama 8 minggu.
4) Alternatif keempat
Bila terdapat resistensi terhadap INH maka dapat diberikan Etambutol dengan dosis 15–25 mg/kg BB.
1. Pencegahan penularan
Menurut Baughman (2001), pencegahan penularan sebagai berikut :
1) Kasus dengan penderita positif harus diobati secara efektif agar tidak menular terhadap orang lain.
2) Bila kontak langsung dengan penderita tuberkulosis sebaiknya lakukan pemeriksaan tuberkulin dan photo thorak.
3) Pada anak–anak lakukan vaksinasi BCG guna mencegah tertularnya penyakit tuberkulosis paru.
4) Pada penderita tuberkulosis paru positif sebaiknya lakukan isolasi dalam pengobatan dan perawatannya.
1. Komplikasi
Penyakit TB Paru apa bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi lanjut.
1. Komplikasi dini:
1) Pleuritis : Inflamasi kedua lapisan pleura.
2) Efusi pleura : Memecahnya kavitas TB dan keluarnya udara atau cairan masuk kedalam antara paru dan dinding dada.
3) Empiema : Pengumpulan cairan puluren (pus) dalam kavitas pleural, cairan yang dibentuk akibat penyakit paru pada orang dengan usia lebih lanjut.
4) Laringitis : Inflamasi pada laring yang di sebabkan melalui peredaran darah.
5) Menjalar ke organ lain seperti usus, tulang dan otak.
1. Komplikasi lanjut :
1) Obstruksi jalan nafas atau SPOT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis)
2) Kerusakan parenkim berat seperti fibrosis paru, kor pulmonal disebabkan oleh Karena tekanan balik akibat kerusakan paru.
3) Amiloidosis.
4) Karsinoma paru, telah terbentuknya kavitas dari proses infeksi.
5) Sindrom gagal nafas dewasa, sering terjadi pada TB milier dan kavitas tuberkulosis.
ASUHAN KEPERAWATAN
Pada Tuberkulosis Paru
Dalam memberikan asuhan keperawatan harus digunakan pendekatan yang sistematis yaitu pendekatan proses keperawatan. Proses keperawatan digunakan perawat dalam mengatasi masalah yang ada. Tahapan yang digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan yaitu: pengkajian,diagnose, perencanaan, implementasi dan evaluasi.
Menurut Doengoes (2000), pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan TB paru adalah:
1. Pengkajian
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data yang meliputi identitas klien, pemeriksaan fisik, data psikologis dan pemeriksaan penunjang perkebutuhan.
1. Identitas klien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui mengenai nama, umur, jenis kelamin, alamat, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan dan status perkawinan.
1. Aktivitas/istirahat
Berkeringat, takikardi, takipnea/dispnea, kelelahan otot, nyeri dan sesak nafas.
1. Integritas Ego
Adanya faktor stress yang lama, perasaan tidak berdaya/tidak ada harapan, menyangkal, ansietas, ketakutan dan mudah tersinggung.
1. Makanan/cairan
Kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan , turgor kulit buruk, kering atau kulit bersisik, kehilangan otot/hilang lemak.
1. Nyeri/kenyamanan
Nyeri dada meningkat karena batuk berulang, berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi dan gelisah.
1. Pernafasan
Batuk produktif atau tak produktif, nafas pendek, riwayat tuberkulosis atau terpajan pada individu terinfeksi, peningkatan prekuensi pernafasan (penyakit luas atau fibrosis parenkim paru dan pleura). Perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural atau penebalan pleural). Bunyi nafas menurun/tak ada secara bilateral atau unilateral (efusi pleura/pneumotorak). Bunyi nafas tubuler atau bisikan pektoral diatas lesi luas. Krakels tercatat di atas apek paru selama inspirasi cepat setelah batuk pendek (krakels postusic). Karakteristik sputum hijau/purulen, mukosit kuning, atau bercak darah dan deviasi trakea (penyebaran bronkhogenik).
1. Keamanan
Adanya kondisi penekanan imun, contoh AIDS, kanker, tes HIV positif, demam rendah atau sakit panas akut.
1. Interaksi Sosial
Perasaan isolasi atau penolakan karena penyakit menular, perubahan pola biasa dalam tanggung jawab/perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran.
1. Pemeriksaan Diagnostik (Soeparman, 1994)
1) Kultur sputum
Positif atau mycobacterium tuberculosis pada tahap aktif penyakit.
2) Tes kulit (PPD, mantoux, potongan volimer)
Reaksi positif (area indurasi 10 mm atau lebih besar, terjadi 48 – 72 jam setelah injeksi intradermal antigen) menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya anti bodi tetapi tidak secara berarti menunjukkan penyakit aktif.
3) Photo thorak
Dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada area paru atas, simpanan kalsium, lesi sembuh primer atau efusi cairan. Perubahan menunjukkan lebih luas TB dapat termasuk rongga atau area fibrosa.
4) Biopsi jarum pada jaringan paru
Positif untuk granuloma TB.
5) Histologi atau kultur jaringan (termasuk pembersihan gaster, urine, cairan serebrospinal dan biopsi kulit)
Positif untuk mycobacterium tuberculosis.
6) Elektrolit
Dapat tak normal tergantung pada lokasi dan beratnya infeksi.
7) Analisa Gas Darah (AGD)
Dapat normal tergantung lokasi, berat dan kerusakan sisa pada paru-paru.
1. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada pasien dengan TB paru menurut Doengoes (2000) adalah:
1. Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tak adekuat; penurunan kerja silia/statis sekret; kerusakan jaringan atau tambahan infeksi; penurunan pertahanan/penekanan proses inflamasi; malnutrisi, terpajan lingkungan; kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen.
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekret kental atau sekret darah; kelemahan; upaya batuk-buruk; edema trakeal atau faringeal.
3. Resiko kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efektif paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar- kapiler; sekret kental; edema bronchial.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan; sering batuk/produksi sputum; dispnea; anoreksia; ketidak cukupan sumber keuangan.
5. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, aturan tindakan dan pencegahan berhubungan dengan kurang terpajan pada/salah interpretasi informasi; keterbatasan kognitif; tak akurat/tak lengkap informasi yang ada.
6. Perencanaan
Tahap selanjutnya setelah diagnosa keperawatan adalah merencanakan tindakan keperawatan dimulai dari memprioritaskan diagnosa keperawatan, menetapkan tujuan dan kriteria hasil serta tindakan/intervensi.
1. Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tak adekuat; penurunan kerja silia/statis sekret; kerusakan jaringan/tambahan infeksi; penurunan pertahanan/ penekanan proses inflamasi; malnutrisi; terpajan lingkungan; kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen.
Tujuan:
1) Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko penyebaran infeksi.
2) Menunjukkan atau melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang aman.
Intervensi:
a) Kaji patologi penyakit dan potensial penyebaran infeksi melalui droplet udara selama batuk, bersin, meludah dan bicara.
Rasional : membantu pasien menyadari/menerima perlunya mematuhi program pengobatan untuk mencegah pengaktifan berulang.
b) Identifikasi orang lain yang beresiko.
Rasional : orang-orang yang terpajan ini perlu program terapi obat untuk mencegah penyebaran/terjadinya infeksi.
c) Anjurkan pasien untuk batuk atau bersin dan mengeluarkan pada tisu dan menghindari meludah. Kaji pembuangan sekali pakai dan tehnik mencuci tangan yang tepat.
Rasional : perilaku yang diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi.
d) Kaji tindakan kontrol infeksi sementara, misalnya masker atau isolasi pernafasan.
Rasional : Dapat membantu menurunkan rasa terisolasi pasien.
e) Awasi suhu sesuai indikasi.
Rasional : Reaksi demam indikator adanya infeksi lanjut.
f) Identifikasi faktor resiko individu terhadap pengaktifan berulang TB.
Rasional : Membantu pasien untuk mengubah pola hidup dan menghindari atau menurunkan insiden aksaserbasi.
g) Tekankan pentingnya untuk tidak menghentikan terapi obat.
Rasional : Infeksi berlanjut akan meningkatkan penyebaran infeksi.
h) Dorong memilih atau mencerna makanan seimbang. Berikan makanan sering, kecil dalam jumlah makanan yang tepat.
Rasional : Adanya anoreksia/malnutrisi sebelumnya menurunkan ketahanan terhadap proses infeksi dan membantu penyembuhan. Makanan kecil dapat membantu meningkatkan rangsang makan.
i) Kolaborasi dalam pemberian obat anti inflamasi pada TB.
Rasional : Menghindari infeksi tidak terjadi ulang.
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekret kental atau sekret darah; kelemahan; upaya batuk buruk; edema trakea atau faringeal.
Tujuan:
1) Mempertahankan jalan nafas klien.
2) Mengeluarkan sekret tampa bantuan.
3) Menunjukkan prilaku untuk memperbaiki/ mempertahankan kebersihan jalan nafas.
4) Berpartisipasi dalam program pengobatan, sesuai tingkat kemampuan atau sanitasi.
5) Menidentifikasi potensial komplikasi dan melakukan tindakan tepat.
Intervensi:
1) Kaji fungsi pernafasan, bunyi nafas, kecepatan, irama dan kedalaman serta penggunaan otot aksesori.
Rasional: Penurunan bunyi nafas dapat menunjukkan atelektasis. Ronkhi dan mengi menunjukkan akumulasi sekret/ketidakmampuan untuk membersihkan jalan nafas yang dapat menimbulkan penggunaan atot aksesori pernafasan dan peningkatan kerja pernafasan.
2) Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukus/batuk efektif; catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis.
Rasional : pengeluaran sulit jika sekret sangat tebal. Sputum berdarah kental atau darah cerah diakibatkan oleh kerusakan (kavitasi) paru atau luka bronkhial dan dapat memerlukan evaluasi/ intervensi lanjut.
3) Berikan klien posisi semi fowler. Bantu pasien untuk batuk dan latihan nafas dalam.
Rasional : Posisi membentu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernafasan. Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan sekret kedalam jalan nafas besar untuk dikeluarkan.
4) Bersihkan sekret dari mulut dan trakea; penghisapan sesuai keperluan.
Rasional : mencegah obstruksi/ aspirasi. Penghisapan dapat diperlukan bila pasien tak mampu mengeluarkan sekret.
5) Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali kontra indikasi.
Rasional : Pemasukan tinggi cairan membantu untuk mengencerkan sekret, membuatnya mudah dikeluarkan.
6) Lembabkan udara/oksigen inspirasi.
Rasional : Mencegah pengeringan membran mukosa, membantu mengencerkan sekret
7) Berikan obat-obat sesuai indikasi; agen mukolitik, bronkodilator, kortikosteroid.
Rasional : Agen mukolitik menurunkan kekentalan dan perlengketan sekret, bronkodilator meningkatkan ukuran lumen percabangan trakeobronkheal, kortikosteroid berguna pada adanya keterlibatan luas dengan hipoksemia.
1. Resiko kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efektif paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar-kapiler, sekret kental, edema bronkhial.
Tujuan:
1) Resiko terhadap pertukaran gas dapat dihindari.
2) Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenisasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal.
3) Bebas dari gejala distress pernafasan.
Intervensi:
1) Kaji dispnea, takipnea, tak normal atau menurunnya bunyi nafas, meningkatkan upaya pernafasan, terbatasnya ekspansi dinding dada dan kelemahan.
Rasional : Memantau ada tidaknya penyakit yang berlanjut.
2) Evaluasi perubahan pada tingkat kesadaran. Catat sianosis dan perubahan pada warna kulit, termasuk membran mukosa dan kuku.
Rasional : Akumulasi sekret/pengaruh jalan nafas dapat mengganggu oksigenisasi organ vital dan jaringan.
3) Tunjukkan atau dorong bernafas selama ekshalasi, khususnya untuk pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim.
Rasional : Membuat tahanan melawan udara luar, untuk mencegah kolaps/ penyempitan jalan nafas.
4) Tingkatkan tirah baring/batasi aktifitas dan bantu aktivitas perawatan diri sesuai keperluan.
Rasional : Menurunkan konsumsi oksigen atau kebutuhan selama periode penurunan penafasan dapat menurunkan beratnya gejala.
5) Berikan oksigen tambahan yang sesuai.
Rasional : Alat dalam memperbaiki hipoksemia yang dapat terjadi sekunder terhadap penurunan ventilasi atau menurunnya permukaan alveolar paru.
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan; sering batuk atau produksi sputum dispnea, anoreksia, ketidak cukupan sumber keuangan.
Tujuan:
1) Menunjukkan berat badan meningkat dan bebas tampa malnutrisi.
2) Melakukan prilaku atau perubahan pola hidup untuk meningkatkan status nutrisi.
3) Mempertahankan BB yang tepat.
Intervensi
1) Catat status nutrisi pasien pada penerimaan, turgor kulit, BB, integritas mukosa oral, kemampuan/ketidakmampuan menelan, riwayat mual, muntah atau diare.
Rasional : Berguna dalam mendefinisikan derajat atau luasnya masalah dan pilihan intervensi yang tepat.
2) Pastikan pola diit biasa pasien yang disukai atau tidak disukai.
Rasional : Membantu dalam mengidentifikasi kebutuhan. Pertimbangan keinginan individu dapat memperbaiki masukan diit.
3) Awasi masukan/pengeluaran BB secara periodik.
Rasional : Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan.
4) Motivasi dan berikan periode istirahat sering.
Rasional : Membantu menghemat energi khususnya bila kebutuhan metabolik meningkat saat demam.
5) Berikan perawatan mulut.
Rasional : Menurunkan rasa tak enak karena sisa sputum atau obat untuk pengobatan respirasi yang merangsang pusat muntah.
6) Makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat.
Rasional : Memaksimalkan masukan nutrisi tampa kelemahan yang tak perlu atau kebutuhan energi dari makan makanan banyak menurunkan iritasi gaster.
7) Motivasi orang terdekat untuk membawa makanan dari rumah.
Rasional : Membuat lingkungan sosial lebih normal selama makan.
8) Rujuk ke ahli diit untuk menentukan komposisi diit.
Rasional : Memberikan bantuan dalam perencanaan diit dengan nutrisi adekuat untuk kebutuhan metabolik dan diit.
9) Awasi pemeriksaan laboratorium seperti BUN, protein serum dan albumin.
Rasional : Nilai rendah menunjukkan mal nutrisi dan menunjukkan
kebutuhan intervensi atau perubahan program terapi.
10) Berikan antipiretik secara tepat.
Rasional : Demam meningkat kebutuhan metabolik dan juga konsumsi kalori.
e. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, aturan tindakan dan pencegahan berhubungan dengan kurang terpajan pada/salah interpretasi informasi, keterbatasan kognitif, tak akurat/tak lengkap informasi yang ada.
Tujuan:
1) Mengidentifikasi gejala yang memerlukan evaluasi atau intervensi.
Menyatakan pemahaman proses penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan.
2) Melakukan prilaku/perubahan pola hiduo untuk memperbaiki kesehatan umum dan menurunkan resiko pengaktifan ulang TB.
Intervensi:
1) Kaji kemampuan klien untuk belajar, mengetahui masalah, kelemahan, tingkat partisipasi, lingkungan dan media terbaik bagi klien.
Rasional : Belajar tergantung pada emosi dan kesiapan fisik dan ditingkatkan pada tahapan individu.
2) Identifikasi gejala yang harus dilaporkan ke perawata, contoh hemoptisis, nyeri dada, demam, kesulitan bernapas, kehilangan pendengaran dan vertigo.
Rasional : Dapat menunjukkan kemampuan atau pengaktifan ulang penyakit atau efek obat yang memerlukan evaluasi lanjut.
3) Tekankan pentingnya mempertahankan protein tinggi dan diit karbohidrat dan pemasukan cairan adekuat.
Rasional : Memenuhi kebutuhan metabolik, membantu meminimalkan kelemahan dan meningkatkan penyembuhan. Cairan dapat mengencer atau mengeluarkan sekret.
4) Jelaskan dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan dan alasan pengobatan lama. Kaji interaksi dengan obat lain.
Rasional : Meningkatkan kerjasama dalam program pengobatan dan mencegah penghentian obat sesuai perbaikan kondisi pasien.
5) Kaji efek samping pengobatan dan pemecahan masalah.
Rasional : Mencegah dan menurunkan ketidaknyamanan sehubungan dengan terapi dan meningkatkan kerjasama dalam program.
6) Dorong klien atau orang terdekat untuk menyatakan takut/masalah.
Rasional : Memberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan konsepsi/peningkatan ansietas.
7) Dorong untuk tidak merokok.
Rasional : Meskipun tidak merangsang berulangnya TB, tetapi meningkatkan disfungsi pernafasan/bronchitis.
8) Kaji bagaimana TB ditularkan dan bahaya reaktifitas.
Rasional : Pengetahuan dapat menurunkan penularan dan reaktivitas ulang.

OLEH : YOGA PERMANA PUTRA/05200ID10125-2C